“Loving the Wounded Soul” : A Book Review”

Calico
5 min readJun 29, 2020

--

Alasan dan Tujuan Depresi Hadir di Hidup Manusia oleh Regis Machdy

Menyalahkan mereka yang telah memberi luka tidak akan menyelesaikan masalah. Namun, menarik diri sesaat dapat membantu kita memahami asal muasal pikiran negatif kita. (halaman 167)

Baru-baru ini isu kesehatan mental sedang up, bukan melalui buku psikologi aja, tapi juga film seperti Joker, ataupun melalui musik yang diangkat oleh mas Kunto Aji. Dari buku, saya sedang membaca 2 buku psikologis tentang kesehatan mental yaitu Loving the Wounded Soul dan I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki. Di postingan kali ini akan bahas tentang buku Loving the Wounded Soul terlebih dahulu.

Buku Loving the Wounded Soul membahas depresi secara menyeluruh, dengan bahasa yang ringan dan lebih mudah dipahami, di awali dengan pengantar kesehatan mental, aspek biologis dan budaya, faktor internal dan eksternal, serta higher meaning dari kehadiran depresi itu sendiri. Sebagai penyintas, Regis juga menceritakan pengalamannya mengatasi kondisi depresinya yang membuat buku ini lebih hidup.

Siapa pun bisa kena depresi, tua, muda, pria, wanita, miskin, kaya. Depresi juga tidak selalu berkaitan dengan seseorang yang bunuh diri, karena depresi memiliki beberapa tingkatan kerentanan dimana setiap orang berbeda tingkatannya. Sebagian besar masyarakat masih tabu dengan depresi. Stigma negatif yang melekat yaitu depresi terjadi karena orangnya lemah, bodoh, tidak kuat iman, kurang beribadah, dan hal negatif lainnya padahal siapa pun bisa depresi.

Jika memiliki asumsi bahwa depresi hanya terjadi kepada orang-orang yang bodoh hal ini terbantahkan karena dari buku ini menyebutkan orang-orang yang dianugrahi label “gifted adults” justru lebih sering menghadapi depresi. Hal yang sama juga berlaku pada orang-orang yang memiliki “high achiever”.

Gifted adults merupakan kelompok orang-orang yang kecerdasannya diatas rata-rata, mereka bisa memikirkan hal yang sangat berbeda, yang tidak pernah dipikirkan oleh orang lain, karena kondisi itu mereka merasa jarang ada orang yang bisa mengerti dan mengimbangin ritme pola pikirnya, sampai akhirnya kelompok gifted adults sering merasa bahwa dirinya itu berbeda dan aneh, pikiran-pikirannya yang terlalu berisik bisa membuat mereka menjadi depresi, mereka menginginkan menjadi orang yang biasa-biasa saja yang tidak berbeda atau aneh agar lebih diterima dilingkungannya.

Sedangkan high achiever kelompok orang-orang yang memiliki banyak prestasi dan kebanggaan namun hal tersebut di dasari balas dendam. Sebagai contoh, seseorang yang menjadi model atau terobsesi menjadi kurus dan cantik dalam versinya karena di masa lalu pernah mendapatkan perlakuan buruk karena tubuhnya dulu gemuk, atau seseorang yang di masa lalunya pernah mendapatkan kata-kata negatif dari orangtuanya, seperti mendapatkan perkataan sebagai anak yang tidak berguna, tidak membanggakan, yang akhirnya dia bekerjakeras sampai membuatnya menjadi sukses dan kaya raya namun hal itu hanya sebagai bahan pembuktiannya kepada orangtuanya. Suksesnya memang dia dapatkan tapi di dalam dirinya terasa ada yang kosong sehingga menyebabkan depresi karena ada hal-hal pemenuhan di dalam dirinya yang belum tercapai. High achiever menjadi kondisi yang tidak sehat ketika motivasinya adalah perasaan tidak sempurna dan tidak puas atau tidak berharga dengan kehidupannya.

Jadi, masih beranggapan kalau depresi hanya untuk orang yang lemah dan bodoh?

Perempuan Lebih Rentang Depresi, Namun Laki-Laki Lebih Banyak Bunuh Diri

Di halaman 77–79, secara statistik perempuan lebih rentan terhadap depresi namun, laki-laki lebih banyak memutuskan bunuh diri dengan angka hampir 3x lebih tinggi daripada perempuan.

Perempuan lebih rentan dengan berbagai turbulensi emosi karena memiliki fluktuasi hormon lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Perempuan juga lebih ruminative atau sering memikirkan sesuatu berulang-ulang. Sedangkan laki-laki seringnya terjebak pada masculinity trap atau toxic masculinity dimana laki-laki akan merasa kesulitan untuk membahasakan hal-hal yang bersifat emosional. Seolah-olah hal yang emosional hanya boleh di miliki perempuan seperti halnya menangis sehingga laki-laki lebih pandai menyembunyikan emosi hatinya.

Namun dampak terburuknya dari masculinity trap adalah laki-laki bisa saja menyalurkan emosi dan amarahnya kepada sosok yang lebih lemah menurutnya, yaitu anak dan perempuan.

Mind-Gut Connection

Ada pepatah yang bilang “your gut is telling you something”. Emeran Mayer menjelaskan kalau otak kita itu punya koneksi khusus dengan sistem pencernaan, maka dari itu nenek moyang kita mengajarkan untuk menjaga pola makan untuk memastikan jiwa kita sehat dan bahagia. Studi terhadap 67 orang depresi yang mengubah pola makan menjadi lebih sehat mengalami perubahan mood yang semakin stabil dan berkurangnya gejala depresi loooh, hal kaya gini membuktikan bahwa makanan yang masuk ke tubuh benar-benar mempengaruhi suasana hati dan kesehatan fisiknya.

“Kita paham bahwa menyayangi diri sendiri bukanlah pekerjaan egois. Menjaga apa yang kita makan dan menjaga suasana hati adalah wujud kasih nyata kita terhadap diri sendiri sekaligus jutaan mikroba di dalam tubuh.” — Halaman 151

High Sensitive Person (HSP)
Secara pribadi yang menarik minat saya adalah bagian yang menjelaskan mengenai High Sensitive Person. Bab ini langsung menarik perhatian, karena rasanya jarang sekali menemukan buku atau artikel yang membahas tentang HSP.

HSP dikategorikan sebagai orang-orang dengan sensitivitas tinggi sangat peka terhadap stimulus atau rangsangan dari luar, baik yang bersifat fisik maupun emosional. Secara sederhana bisa disebut sebagai orang yang terlahir dengan sensitivitas tinggi.

“Seseorang dengan HSP dapat melihat kegelisahan seseorang melalui gerak-geriknya. HSP dapat membaca raut wajah, ekspresi mata, gestur tubuh seseorang dan dengan cepat dapat memahami suasana emosi lawan bicaranya. Sehinggan orang dengan HSP akan lebih mudah merasa empati. — Halaman 106”

Di buku ini juga saya dapat link untuk tes apakah saya seorang HSP melalui halaman ini. Saya sendiri penasaran dan coba ikuti tesnya, hasilnya skor saya 22 dari 27 hahhaha, jadi ini alasannya saya bisa tau kondisi seseorang bukan hanya melalui mimik mukanya tapi bahkan dari suara atau cara ketikannya. Saya juga gampang merasa pusing ketika berada di tempat ramai atau berisik, jadi semakin mengarah ke HSP (okay ini mulai sok tau bagian ini haha). Saya jadi semakin penasaran dengan si High Sensitive Person ini, mungkin next postingan akan membahas tentang hal ini setelah saya pelajari lebih jauh sebelumnya 😆

Depresi memang sangat menyakitkan, tetapi di sisi lain kita juga paham bahwa melalui kesakitan itulah kita mendapat kesempatan untuk tumbuh menjadi lebih bijaksana. Namun, saya paham bahwa depresi selalu memliki tujuan. Jika ia datang lagi, artinya ada sesuatu yang perlu saya pelajari di hidup ini. — Halaman 46

Buku ini semakin menarik karena menjadi referensi lainnya yang bantu menyadarkan kita tentang pentingnya kesehatan mental. Namun dengan meningkatnya kesadaran mental, tidak sedikit juga beberapa kawan melakukan self-diagnose yang justru semakin meningkatkan kecemasannya, hal kaya gini yang harus dihindari, jika ragu datangi saja psikolog atau sekarang sudah banyak juga loh psikolog-psikolog online yang disediakan beberapa platform dengan harga yang cukup murah, kita bisa tau diagnosa awal, dari sana kita juga bisa tau apakah perlu untuk melanjutkan sesi konseling atau tidak.

Semoga dengan meningkatnya kesadaran mental di Indonesia dapat meningkatkan juga kepedulian kita terhadap sesama. Sudah saatnya kita mengambil jeda, hadir penuh utuh saat ini, berdamai dengan pikiran dan perasaan kita.

--

--

Calico
Calico

Written by Calico

This blog is my safe place to contemplate life. Mostly I wrote about myself, my feeling, and random things.

No responses yet